Minggu, 18 Januari 2015

Review Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu. Norman Erikson Pasaribu.

Ketika ada seorang sahabat yang juga gemar oret-
oret seperti saya bertanya 'siapa penulis
favoritmu?' Saya tanpa ragu menjawab: Budi
Darma dan Seno Gumira Ajidarma. Tak hanya
berhenti di situ, sahabat saya tersebut menerjang
saya lagi dengan pertanyaan ini: siapa penulis
muda favoritmu, yang masih seumuran kita.

Untuk pertanyaannya kali ini, saya belum bisa
memberikan jawaban yang mapan. Jawaban saya
kala itu kira-kira seperti ini: saya suka si anu, si
anu dan si anu. Tapi saya juga si anu.

Hingga waktu mempertemukan saya dengan
sebuah cerpen yang diterbitkan Koran Kompas
berjudul 'Sepasang Sosok yang Menunggu'.
Mengenai kedahsyatan cerpen tersebut, sampean
tak perlu meragukannya. Karena cerpen tersebut
berhasil menyabet gelar sebagai cerpen terbaik
Kompas pada tahun cerpen tersebut diterbitkan.
Siapa penulis cerpen tersebut? Dialah Norman
Erikson Pasaribu.

Ada satu hal yang membuat
saya jatuh cinta dengan cerpen ini, ialah karena
tokoh didalamnya diberi nama Mary Jane. Dan
entah karena sebatas kebetulankah bahwa jauh-
jauh hari saya pernah menulis oret-oret dengan
nama tokoh Mary Jane juga. Yang karena norak
atau belajar gila, oret-oret saya tersebut--dengan
tokoh Mary Jane didalamnya--adalah saya
maksudkan sebagai kado untuk diri saya sendiri
pada ulang tahun saya yang ke dua puluh tujuh.
Yang dengan demikian berarti saya jauh lebih tua
ketimbang Norman -___- ( menang tua doang )

Selesai dengan Sepasang Sosok yang Menunggu,
saya pun gatal untuk mengetahui lebih banyak apa
saja yang telah ditelurkan oleh Norman ini. Dan
saya menemukan 'Tiga Kata untuk Emilie Mielke
Jr' dan 'Mendaki Bersama Xingjian'. Dari tiga
cerpen yang bisa saya baca bebas di jagat maya
tersebut saya bisa menyimpulkan betapa
spesialnya Norman dalam bercerita. Dia
mengambil sudut-sudut penceritaan yang tak
pernah sampean bayangkan. Benar-benar jleb.

Lalu saya bertemu dengan buku kumpulan cerpen
Norman yang ia atau editornya beri nama: Hanya
Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus
Menunggu. Dan tanpa mengabaikan pencapaian
buku ini sebagai 'Lima Besar Buku Prosa Terbaik
Kusala Sastra Khatulistiwa 2014', saya hanya bisa
berkomentar bahwa ini adalah buku terbajingan
yang pernah saya baca.

Benar-benar bajingan. Saya merasa tercabik-cabik
membacanya. Atau begini maksud saya yang
sebenarnya: Buku. Ini. Telah. Menusuk. Jiwa.
Saya. Tepat. Langsung. Di jantungnya. Yang paling
dalam.

Saya tidak akan mengutip dari dalam buku ini
kutipan favorit saya, karena semua yang tertulis
dalam buku ini adalah favorit bagi saya. Ya,
termasuk bagian dedikasi dan riwayat cetakan ("Ya
emang gue suka kenapa? Masbuloh?"). Tunggu
sampai Sampean membacanya sendiri, dan
rasakan betapa Sampean akan dibuat nangis darah
oleh ke dua puluh cerpen yang digendong buku ini.

Dan ini mulai membosankan menurut saya, ketika
saya mulai berbicara tentang betapa saya telah
jatuh cinta. Juga betapa saya akan memuja-muji
sesuatu yang saya jatuh cintai. Lalu sampailah
saya pada bagian dimana ndlemingan ini harus
saya akhiri dengan kalimat seperti ini: Tanpa
ditanya, saya mengabarkan kepada teman saya
tadi dan juga beberapa teman lainnya bahwa
penulis muda favorit saya adalah: Norman Erikson
Pasaribu.

Kamis, 17 April 2014

dua bingkai


Apakah telapak tanganmu
berkeringat dan
jantungmu berdetak cepat saat
berada di
dekatnya?
 ITU BUKAN CINTA, ITU SUKA...
Apakah kamu tak bisa
melepaskan pandangan
atau genggaman dari dirinya?
 ITU BUKAN CINTA, ITU NAFSU...
Apakah kamu mengatakan
padanya bahwa setiap
hari dialah satu-satunya
orang yang kamu pikirkan?
 ITU BUKAN CINTA, ITU DUSTA...
Apakah kamu menerima segala
kesalahannya dan
kekuranganya karena itulah
bagian dari dirinya?
 BARULAH ITU CINTA...
Adakah kamu memaafkanya
dan bersedia tetap
bersamanya saat dia
menyakitimu?
 BARULAH ITU CINTA...
Apakah kamu tetap setia
apapun yang terjadi
baik saat gembira maupun
sengsara?
 BARULAH ITU CINTA.

Jane memalingkan wajahnya dari layar monitor yang menampilkan pertanyaan sekaligus jawaban, mendesah perlahan. Jane ingin bertanya kepada dirinya sendiri, cintakah ia kepada Gaston ? .

Mematikan komputer, juga semua lampu di kamarnya. Menelusup kebawah selimutnya dalam gelap.
kala itu usia Jane baru empat belas. Dan jika dia mengilas balik hubungannya dengan Gaston, maka kepolosan, kejorokan dan sifat-sifat kampungan Gastonlah yang membuatnya betah berlama-lama berada didekat Gaston. Dengan semua hal norak yang ada pada dirinya itu, Gaston terlihat sangat orisinil.

Hari-harinya bersama Gaston tak pernah panas, karena Gaston seperti tak memiliki kata tidak dalam kamusnya. Dia hanya punya kata iya untuk Jane, apapun itu. Jane tak hanya ragu mengenai cintakah ia kepada Gaston, tapi dia juga ragu, cintakah Gaston kepada dirinya. Sebab yang ia dapatkan dari Gaston selama ini bukan hanya perhatian dan kasih sayang, tapi lebih dari itu. Gaston mengaguminya, memujanya bahkan.

Ah, ini mulai terasa membosankan. Jane meraba selangkangannya, dia masih perawan. Dia punya kekasih, Mark. Tapi separuh dari dua puluh empat jam hari Jane adalah bersama Gaston. Mungkin Jane memerlukan koin, untuk menentukan siapa yang dulu. Untuk di ajaknya bercinta.

lama selewat tengah malam Jane baru bisa terlelap. Mimpinya berulang-ulang, seperti adegan film yang pitanya rusak. Jane tak pernah memimpikan Gaston, Jane tak pernah memimpikan Barry. Tak peduli betapapun ia ingin, ia tak pernah berhasil membawa Gaston Barry Pawson ke dalam mimpinya. Tak peduli seluruh dunia memanggilnya Gaston, Jane selalu memanggilnya Barry. Jane ingin beda, ia ingin punya sesuatu yang membedakan antara dia dan kawan-kawan Gaston yang lain. Tidurnya lelap, udara dingin. Terjaga sebentar dan menggumam tak jelas saat subuh, reaksi sederhana ketika dia mendengar kesibukan di bawah. Mama selalu bangun pagi-pagi sekali untuk mengurus dapur, jauh sebelud kokok ayam.

Menarik selimutnya lebih rapat, berguling ke kiri, dan terlelap lagi. Di dapur, suasana hangat dan tenteram, mama memasak air di ketel, dan merebus telur pada tungku satunya. Api kompor gasnya mulai berbercak-bercak kemerahan, gasnya sudah mau habis. Pertanda.

tak lama kemudian papa terbangun, dan bergabung dengan mama di dapur setelah menyegarkan muka di westafel.
"Kopi, teh ?"
"Susu saja kurasa."
"Baguslah kalau kau mulai sadar."
"Aku merasa jantungku berdebar tak beraturan sehabis menandaskan segelas kopi atau teh."
"Itu artinya kau sudah tua bangka Pete, jadi mulailah juga berhenti merokok."
"Inilah yang aku suka darimu, Mary-ku sayang."
"Apa ?"
"Kau pandai sekali memanfaatkan peluang. (tergelak lalu melanjutkan) begitu kau tahu aku sadar akan akibat buruk kafein, kau memanfaatkan momen itu untuk membuatku menceraikan istri pertamaku, nikotin."
"Aku tidak bilang begitu."
"Tidak persis begitu memang."
"Aku hanya benci bila menemukan baju-bajumu berlubang disana-sini akibat rokok."
"Percayalah Mary, aku jauh mencintaimu ketimbang rokok."
"Kau mau aku menambahkan madu ?"
"Sedikit saja."
"Pete."
"Ya sayang."
"Usahakan hari ini jangan pulang terlalu larut." Meletakkan susu dan duduk di hadapan papa.
"Mary, kau tahu aku tak pernah membuat diriku untuk pulang terlalu larutkan ?"
"Jane mulai beranjak dewasa."
"Ah ya, putri kecilku."
"Tidakkah menurutmu kurang bagus untuk perkembangannya jika dia hanya bertemu denganmu pada hari minggu ?"
"Mary, restoran tutup pukul 10 malam."
"Aku tahu."
"Tapi aku tak pernah tega untuk langsung tutup pada jam itu, kau tidak berfikir untuk menyuruhku mengusir pelanggan-pelangganku yang tengah asik mengobrol pada jam-jam itu kan ?"
"Tidak harus mengusir, tapi kau memang harus membuat perubahan. Merekrut asisten kurasa bukanlah ide buruk."
...

Suasana pagi menyebar diluar rumah. Pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan. Ini hari selasa. Hari pertama liburan musim panas. Papa dan mama masih di dapur. Jane masih ti
dur. Cuaca cerah. Hari yang sempurna, setidaknya sampai papa menghidupkan televisi untuk menonton berita pagi.

Rabu, 16 April 2014

Semoga cinta selalu ada, dalam hati kita



peta di telapak kakiku, adakah ia menuntunku padamu ?
Kau yang hingar, kau yang bugar.
Kau yang gagap di depanku, kau yang membuang mata di hadapanku.

Tak henti kompas pada jemariku ini menelusuri pipimu, mencoba menemukan arahnya sendiri.
Menggali dan mengira, mana kutub mana khatulistiwa.
Karena aku tahu--atau mungkin sebenarnya kau juga tahu--pada pipi kananmulah semua ini bermuara.
Pada pipi kananmulah aku titipkan salam terakhir kita.

Maka, terberkatilah pipi hangatmu itu Ta.
Kehangatan, tempat aku menitipkan sebuah ciuman perpisahan.
Meski aku tak pernah benar-benar tahu, apa beda pertemuan dan perpisahan.
Sejahteralah kau selalu Ta, percayalah, aku tetap menyayangimu melalui do'a.

Semoga cinta selalu ada, dalam hati kita. Ta.

kosong lima kosong lima



Kosong lima kosong lima pagi pecah di dadaku.
Aku membelah diriku berkali-kali, tapi tetap tak kutemukan diriku.
Dimana ?
Dimana ?
Aku membelah bagian belakang tubuhku, tapi yang ku temukan hanyalah dirimu sedang berganti baju. Sesudah mandi.
Celana dalam biru tuamu memelukku, hangat.
Aku menutup bagian belakang diriku dengan menjerit.
Lirih.
Menahan tikaman tikaman perih.
Dimana diriku ?

Kosong lima sepuluh. Lima menit berlalu.
Aku memilih terjaga, tapi tetap tak dapat ku temukan diriku.
Mataku adalah matamu, bibirku adalah bibirmu.
Pipi, hidung, dahi, bahkan alis ini bukan diriku lagi.
Aku ketakutan, aku kedinginan.
Aku ingin berlindung pada hangat ketiakmu, pada bulu-bulu halus yang tumbuh disana, juga aroma kesegaran yang berdiam pada tiap lipatannya.
Dimana diriku ?
Aku masih belum menemukannya.

Aku menggenangi ketiakmu, yang bahkan genangan itu bukanlah lagi genanganku.
Kembalikan diriku Ta, kembalikan yang telah kau curi dariku.
Kembalikanlah, yang tanpanya, aku bukanlah diriku.
Aku berhak hidup Ta, tanpamu

sebatas isyarat--rectoverso. @Dee

"Aku mulai berkisah,
tentang
satu sahabatku yang lahir di
negeri orang lalu menjalani
kehidupan keluarga imigran
yang sederhana. Setiap kali
ibunya hendak menghidangkan
daging ayam sebagai lauk,
ibunya pergi ke pasar untuk
membeli bagian punggungnya
saja. Hanya itu yang mampu
ibunya beli. Sahabatku pun
beranjak besar tanpa tahu
bahwa ayam memiliki bagian
lain selain punggung. Ia tidak
tahu ada paha, dada, atau
sayap. Punggung menjadi satu-
satunya definisi yang ia punya
tentang ayam.

Aku sampai di bagian
bahwa
aku telah jatuh cinta. Namun
orang itu hanya mampu
kugapai sebatas punggungnya
saja. Seseorang yang cuma
sanggup kuhayati
bayangannya dan tak akan
kumiliki keutuhannya.
Seseorang yang hadir
sekelebat bagai bintang jatuh
yang lenyap keluar dari bingkai
mata sebelum tangan ini
sanggup mengejar. Seseorang
yang hanya bisa kukirimi
isyarat sehalus udara, langit,
awan, atau hujan. Seseorang
yang selamanya harus
dibiarkan berupa sebentuk
punggung karena kalau sampai
ia berbalik niscaya hatiku
hangus oleh cinta dan siksa.

…Sahabat aku itu
adalah
orang yang berbahagia. Ia
menikmati punggung ayam
tanpa tahu ada bagian lain. Ia
hanya mengetahui apa yang ia
sanggup miliki. Aku adalah
orang yang paling bersedih,
karena aku mengetahui apa
yang tidak sanggup aku
miliki”.

Kamis, 27 Maret 2014

pernahkah aku tidak memaafkanmu ?


oleh : mejenis panggar besi


kau tahu kau menyakitiku. Aku sadar aku mengecewakanmu. Melalui huruf-huruf ini aku ingin bercerita dan bertanya. Tentang aku yang telah lupa kepada luka, kepada rasa sakit yang demikian nyelekit. Aku memaafkanmu, sepenuhnya. Pernahkah aku tidak memaafkanmu ? 
Seperti hari-hariku kini yang terus menerus menimbunku dalam gundukan rindu dan rasa ingin bertemu. Tapi perpisahan ini adalah akhir yang sempurna, juga perih dan duka yang mengikuti sesudahnya. Aku tahu, aku tak hanya ingin bertemu denganmu, tapi diri ini ingin kembali menjalani hari bersamamu. Maka, aku mencegah diriku menemuimu. Sekuat-kuatnya, sebisa-bisanya, seracun-racunnya. Pernahkah aku tidak memaafkanmu ? Pernahkah aku tidak menerimamu ? 
Lalu malam-malam tak henti menganiaya diriku, bukan dengan gelapnya, bukan dengan dinginnya. Tapi melalui detiknya yang seolah enggan berpindah. Aku berani bersumpah, bahwa malam mengulur dirinya lebih lama dibanding ketika aku melaluinya dalam ketiakmu. pernahkah aku tidak memaafkanmu ? 
Itu karena rasa sayang ini demikian mencintaimu. Hingga dia tetap menyediakan penerimaan-demi penerimaan, atas apa-apa yang sebenarnya membuatnya terluka. Lalu kau merubah dirimu menjadi piring pecah. Tapi pernahkah aku tidak memaafkanmu ? 
Bahkan dadaku tetap menerima ke-piring pecahan-mu dengan mengenakan senyum. Senyum yang tak lelah mengemis, supaya ke-piring pecahan-mu tetap sudi singgah dalam dadaku. Hingga pada akhirnya, aku menyerah. Digilas pasrah demi pasrah. Aku memilih menjauh. Aku memilih jarak, menunggumu kembali sambil membetulkan isi dadaku yang kadung berserak. Disinilah aku, tak henti bertanya, pernahkah aku tidak memaafkanmu ? 
Pertanyaan keseribu sekian yang tak henti aku rapalkan untuk sekian rasa manis yang gagal aku reguk. Untuk sekian warna-warna yang gagal aku susun ulang menjadi pelangi, tempat kita ingin berpulang setelah lelah berpetualang. Setelah kita merasa cukup mengumpulkan kenangan.

Minggu, 23 Maret 2014

lelaki yang mengubah dirinya menjadi angin


lelaki yang mengubah dirinya menjadi angin. supaya ia dapat bergelung manja dalam paru-paru kekasihnya. kekasihnya cuma satu, yang itu itu saja. tak peduli ia hinggap pada ribuan dada, tapi baginya, kekasihnya cuma satu, yang itu itu juga.

***

"hhh..."  kekasihnya menghembuskan nafas berat. sangat berat. dan mereka tak pernah benar-benar tahu, mengapa mereka tak pernah bisa mencegah diri sendiri untuk menemui yang lain. sementara dia semakin sadar bahwa dia tak akan mampu melalui hari tanpa sejenak memandang wajah kekasihnya. meski itu hanya uuntuk sebentar saja.
" di kehidupan kali ini,aku tak bisa memberimu apa-apa, bahkan sekedar harapan pun aku tak bisa."
" kau tahu, aku tak butuh apapun darimu. aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. dan yang aku butuhkan hanyalah, ketika aku lewat di depan jendela ini, engkau ada di dalam sana. aku akan berhenti sejenak, memandangmu, memelukmu melalui mataku. itu saja."

sepeti biasa, pagi ini dia mengarungi tangga itu. satu, dua, tiga, dan seterusnya. hingga pada hitungan kesekian, jantungnya akan berdetak lebih kencang sebelum dia menolehkan kepalanya ke sebelah kiri, memandang menembus kaca jendela tempat kekasihnya berdiam di dalamnya. dan setelah dua detik yang sesuatu itu, dia akan segera mempercepat langkah, melipat jarak yang disimpan anak tangga sesudahnya. berlalu, membawa semua rindu. kemudian pada jam jam sesudah itu, kekasihnya akan merubah diri menjadi perahu. yang tak henti hilir mudik merenangi kepalanya, menerangi setiap langkahnya.

dan mereka bertemu lagi pada akhirnya. kekasihnya terlahir ke dunia sebagai orang biasa. sebagai manusia. dengan kehidupan yang biasa biasa juga. lahir, tumbuh, sekolah, bekerja, menikah, kemudian menjadi ayah. maka yang tak biasa adalah hari ketika mereka dipertemukan. dia bertemu dengan kekasihnya ketika kekasihnya telah menjadi seorang ayah, membuatnya tak henti meratap dengan hati yang terbelah-belah.

dia, dialah yang harus berlalu. berlari. melayang. terbang. di kehidupan kali ini dia terlahir sebagai entah. dimana dia bisa menjadi apa saja yang dia minta kepada dewata. sebab milyaran kebaikan yang dia tanam di kehidupan sebelumnya telah membuat dewata jatuh cinta. hingga tanpa ragu, dewata memberikan selembar tiket emas kepadanya. tiket yang dapat dia gunakan untuk mengubah dirinya menjadi apa saja. apa saja.

setelah mengumpulkan belahan-belahan hatinya yang tadi sempat berhamburan, dia segera mengambil langkah menuju dewata, untuk meminta kepadanya supaya mengubah dirinya menjadi batu. bongkahan mineral yang akan kekasihnya sentuh, genggam, untuk kemudian ditanam. maka, dia akan mengarungi sisa hidupnya sebagai sebongkah batu. batu fondasi rumah kekasihnya. rumah idaman, lambang kesejahteraan, dimana kebahagiaan kekasihnya adalah hal yang harus dia prioritaskan. dan yang lebih utama dari segalanya, dia akan bisa terus bersama kekasihnya. kekasihnya yang satu, yang itu itu juga.

dan juga, ini adalah sebuah peng-impasan dia punya hutang. sebab dulu, dulu sekali. di kehidupan yang entah keberapa kali, dia pernah sekali ditakdirkan untuk menjadi sebongkah batu. kala itu, kekasihnya--entah mengapa--terlahir sebagai seorang raja berlumur dosa, yang harus menanggung kutukan dari dewata.

disepanjang usia kekasihnya sebagai raja yang pendosa itu, kekasihnya diharuskan mendorong, menggelindingkan, mengangkat dan atau memanggul sebongkah batu dari sebuah lembah ke puncak bukit tempat dewata tengah duduk bersila. ketika kekasihnya telah berhasil membawa batu itu--yang tak lain dan tak bukan adalah si dia-- sampai ke puncak bukit, kekasihnya harus membiarkan dia jatuh, menggelinding kembali menuju lembah di bawah sana, di kaki bukit sana. lalu kekasihnya akan berjalan kembali menuruni bukit, menemui dia dilembah di kaki bukit, kemudian menggelindingkan, mendorong, mengangkat, dan, atau memanggul dia untuk membawa dia ke puncak bukit sana. setelah sampai puncak, kekasihnya harus membiarkan dia menggelinding menuju lembah di kaki bukit sana. membawanya ke puncak lagi. membiarkannya menggelinding menuju lembah lagi. membawanya ke puncak lagi. demikian seterusnya di sepanjanang mereka punya usia. hingga telah cukup bagi dewata atas penghapusan kekasih punya dosa. tapi, yang lebih utama dari segalanya, betapapun pedihnya, dia bisa terus bersama kekasinya, yang satu, yang itu itu juga.

hari berganti minggu. bulan berganti tahun. dia tetap setia sebagai batu fondasi rumah kekasihnya. kini kekasihnya telah menjadi manusia yang bukan hanya ayah, tapi juga kakek.

tahun berganti windu. windu berganti dasawarsa. hingga tiba saatnya ketika istri kekasihnya itu telah lebih dulu berpulang menuju dewata. mencukupkan kisahnya. anak anak kekasihnya telah menjadi orang semua, telah ,menjadi ayah juga. kemudian pada suatu malam, dia mendengar kekasihnya berbicara kepadanya. dia selalu tahu kapan kekasihnya itu berbicara kepadanya, atau tidak kepadanya.
"aku ingin berhenti."
" berhenti dari apa ?"
" dari kehidupan ini."
" mau jadi apa kita setelah ini ?"
" aku tak tahu."
"..."
" aku hanya ingin berhenti. aku lelah."
" aku ikut."
"kemana ?"
" kemanapun kamu pergi."
" serius ?"
"iya."
" kau mau ikut kemanapun aku pergi ?"
" iya. yakin."
" awas ya, kalau gak ikut. aku tinju kau."
lalu mereka sama sama tertawa. mungkinkah kekasihnya yang manusia renta sanggup meninju dia yang batu ?

lalu mereka berpelukan. menyatukan masa lalu dan masa depan. dia merubah dirinya menjadi angin, pun kekasihnya. dia terbang, kekasihnya terbang. tak ada lagi dia dan kekasihnya. mereka telah menjadi satu. akulah yang satu itu. aku.

***

aku melayang, berhamburan. dan aku telah sampai di hutan ini lagi. tempat dimana kita pernah saling membunuh supaya dapat menikmati yang lain. rumput ini masih sama, rumput yang itu itu juga. pada masa itu, masa ketika kita saling membunuh itu, adalah ketika aku terlahir kedunia sebagai sebilah pedang. dengan takdir yang aku panggul sebagai sebilah pedang, maka dari waktu ke waktu aku akan mencari darah untuk mengobati kehausanku. tak terhitung sudah tubuh manusia yang telah aku belah. dan setiap kali aku berhasil membelah manusia, aku akan selalu bergumam perlahan. lagi, lagi, lagi. aku semakin tua, dan aku masih tak tahu kau ada dimana atau terlahir sebagai apa. hingga siang terik di bulan november itu memperkenalkan kita, dengan kebisuan yang tanpa kata-kata.

ketika kali ini aku telah ditakdirkan untuk terlahir kedunia sebagai sebilah pedang, ternyata engkau ditakdirkan untuk terlahir sebagai darah. kau hidup dan mengalir di dalam tubuh yang akan dan harus aku belah. tak sabar lagi aku untuk bersegera membelah tubuh tempat engkau menginduk, aku tak sabar untuk segera menemuimu. mengakhiri sekian ratus tahun penantianku, pencarianku. cras, cras, cras.

terbelah sudah. kau bersimbah. maka, untuk kesekian kalinya, kita telah memenuhkan takdir kita. tapi kenapa tubuhku memanas, aku meleleh. aku mencair menyimbahi darah, menyimbahimu. melarut kedalam engkau. setan darimana yang punya ilmu demikian hebatnya, hingga mampu mengakhiri petualangan pedang sepertiku, yang telah dengan gagah membelah-belah jutaan manusia.

kelak di kemudian hari, di kehidupan yang kesekian kali. aku berhasil mengetahui. kala itu, engkau yang terlahir sebagai darah, ditakdirkan untuk menginduk pada tubuh seorang raja. raja, yang penobatannya bukan berdasarkan keturunan dan warisan seperti pada umumnya. tubuh tempat hidup dan tinggal adalah tubuh seorang raja sejati, dimana ia berhasil menjadi raja berkat segala kelebihan yang memang dewata anugerahkan kepadanya. ia berhasil menjadi raja, tak lain dan tak bukan adalah karena dia sendiri punya rakyat yang memilihnya. bahkan dia sanggup memenangkan gelar raja untuk kedua kalinya, ketika musim kompetisi digelar kali berikutnya. tapi aku tak terlalu tertarik dengan tubuh dan kisah sang raja. karena prioritasku adalah kekasihku, darah yang hidup dalam tubuh sang raja. kekasihku yang satu, yang itu itu juga.

aku melepuh kemudian meleleh ketika bertemu kekasihku. darah yang mampu melelehkan besi. bukankahitu lebih fenomenal dibanding ketika kekasihku harus membawaku menaiki bukit dan membiarkanku jatuh, membawaku lagi, membiarkanku jatuh lagi ? seluruh fikiranku tak sanggup membayangkan penebusan dosa yang lebih mengerikan di banding itu. aku yang kala itu batu, tak henti merapal dua suku kata " dosa apa... dosa apa..."

mungkinkah sesuatu yang entah, atau mungkin sesuatu itu juga sejenis dosa telah merasuk ke dalam tubuh raja, dan merubah kekasihku punya susunan senyawa kimia. aku lebih suka menyebutnya kimia dibanding biologi. darah yang melelehkan besi ? demikian aibnya bagi catatan karirku. jutaan tubuh yang telah aku belah. jutaan pedang lain yang berhasil aku tumbangkan . jutaan besi lain yang sukses aku hancurkan. tapi aku hanya berakhir melepuh dan bersimbah hanya bersebab bertemu raja punya darah. tapi di atas semua aib yang harus aku tanggung, aku dan kekasihku bisa bersama juga pada akhirnya.mencair dan mengalir, bersama. kekasihku yang satu. yang itu itu juga.

tapi aku tetap tak bisa berhenti mengusung tanya. senyawa apa yang sanggup dengan mudahnya melelehkan besi baja yang ditempa selama jutaan tahun dalam bara. apa yang sedemikian beracun hingga begitu mematikannya ? apa yang telah ditelan tubuh sang raja hingga darahnya menjadi demikian berbisa ?



                                                                                                                                      Indonesia, 2013.



# setelah menonton Hancock dan membaca Cintaku Jauh di Komodo-nya Seno Gumira Ajidarma.

*menurut mitologi yunani, Sisipus mula mula menjadi raja Corinth, kemudian dikutuk para dewa. setiap hari dia harus mendorong batu karang ke puncak bukit Tartarus, dan begitu batu ini mencapai puncak, dia harus melepaskannya kembali, membiarkannya menggelinding ke bawah. begitu batu ini mencapai kaki bukit, dia harus mendorongnya lagi ke puncak.