Pria ini, menurutku adalah hujan itu
sendiri.
Ketika senyumnya terjatuh di hadapanku, maka seketika hujan
yang tak jelas juntrungannya ini berhamburan menuju dadaku.
Tanpa ampun.
Hancurlah dadaku beserta isinya.
Maka dengan tertatih, aku punguti
puing-puing dadaku yang berserakan.
Hati-hati, merangkainya kembali
seperti bentuk semula.
Ketika merengutnya menerpaku, hujan itu kembali
menyerbu dadaku.
Dan selalu tanpa ampun.
Ketika aku mendengar suaranya,
hujan itu seketika menyerbuku.
Hujan.
Hujan.
Pagi ini aku mengenakan
pakaian hitam, supaya ketika pria-ku muncul, dan aku tak mampu menguasai
diri, aku bisa bersembunyi pada warna gelapnya.
aku datang belakangan
rupanya, ketika aku sampai, pria-ku sudah sibuk dengan pekerjaannya.
Dia
bergerak kesana kemari, omong sana sini.
Dan tanpa kusadari, hujan
telah membanjiri tubuhku.
Berderai-derai, hingga ketika aku telah
kembali kepada diriku, aku hanya tinggal berupa genangan saja.
lalu aku jadi bingung sendiri.
Siapa di antara kami yang berasal dari
hujan.
Sementara aku telah sadar pada satu hal, mengenai hujan ini.
Hujan yang jujur ini adalah perwujudan luka, betapa senyumanmu,
merengutmu, kegagapanmu ketika emosi melanda, suaramu, langkah kakimu,
cahaya matamu, betapa semua itu tak akan pernah menjadi milikku.
Tak
akan pernah.
Pria hujanku, engkau hanyalah semisal dermaga, tempat aku
melempar sauh dan singgah sementara.
Akan datang hari, ketika aku harus
mengangkat jangkar, dan membenahi isi dada yang sempat engkau
belukarkan.
Pria hujanku, engkau adalah atap, tempat aku sejenak singgah
dan meratap.
Tempat aku berteduh dari malam untuk menjemput subuh.
Dan
ketika tiba fajar, aku harus sudah siap mengembangkan layar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar